MERAPI, KRATON & LAUT KIDUL
Agun Awan, S.Pd. (Jl.Bandar Ngalim Gg.II/1-A, Bandar kidul, Mojoroto, Kediri, Indonesia)
Ada garis lurus antara Keraton dan Merapi. Apa arti gunung itu bagi Keraton Yogyakarta?
Kita semua pasti tahu kalau Yogyakarta itu terkenal sebagai Kota Pelajar, Kota Kebudayaan, ataupun Kota Gudeg dengan Sri Sultan HB X sebagai Kepala Pemerintahan dan sekaligus sebagai Raja Yogyakarta. Jogja dengan berbagai mitos yang dipercaya oleh masyarakat seperti Nyi Roro Kidul sebagai Ratu Pantai Selatan ataupun Ki Sapu Jagad Sang Penjaga Gunung Merapi.
Sebenarnya masih ada 1 lagi mitos Jogjakarta yang hampir terlupakan. Yang dimaksud disini adalah GARIS LURUS yang MEMBENTANG dari UJUNG UTARA hingga SELATAN YOGYAKARTA. Konon kabarnya, dalam mitos yang selama ini diyakini, ada hubungan antara Merapi, Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan. Selain itu, garis lurus ini juga menggambarkan bahwa Gunung Merapi sebagai batas utara Yogyakarta, Pantai Selatan sebagai batas selatannya dan dengan
Kraton sebagai Poros atau Pengaturnya.
Yang mendasari terbentuknya garis ini sebenarnya bukan hanya 3-4 tempat tersebut. Untuk lebih detailnya, berikut diulas satu persatu, dari ujung utara sampai selatan :
GUNUNG MERAPI
Gunung Merapi sebagai batas utara Yogyakarta dan disinilah garis lurus itu dimulai.
TUGU YOGJAKARTA
Tugu golong gilig atau tugu pal putih (white paal) merupakan penanda batas utara kota tua Yogyakarta. Semula bangunan ini berbentuk seperti tongkat bulat (gilig) dengan sebuah bola (golong) diatasnya. Bangunan ini mengingatkan pada Washington Monument di Washington DC. Pada tahun 1867 bangunan ini rusak (patah) karena gempa bumi yang juga merusakkan situs Taman Sari. Pada masa pemerintahan Sultan HB VII bangunan ini didirikan kembali.
Namun sayangnya dengan bentuk berbeda seperti yang dapat disaksikan sekarang. Ketinggiannya pun dikurangi dan hanya sepertiga tinggi bangunan aslinya. Lama-kelamaan nama tugu golong gilig dan tugu pal putih semakin dilupakan seiring penyebutan bangunan ini sebagai Tugu Yogyakarta.
MALLIOBORO
Malioboro adalah suatu pusat perbelanjaan yang sejajar dengan jalan lurus dari Tugu jogja menuju Kraton.
ALUN-ALUN UTARA
Selain berfungsi sebagai media pertemuan Sultan dengan Rakyatnya, di Alun2 Utara juga terdapat pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) yang berjumlah 64 (termasuk dua ringin kurung) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia).
KRATON YOGJAKARTA
Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Keraton artinya tempat dimana ‘Ratu’ (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam.
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton.
PLENGKUNG GADING
Plengkung Gading yang bernama asli Plengkung Nirboyo merupakan pintu selatan dari komplek Kraton Yogyakarta.
PANGGUNG KRAPYAK
Panggung krapyak atau sering disebut Kandhang Menjangan dibangun oleh Sultan HB I dan saat ini merupakan benda cagar budaya. Gedhong panggung, demikian disebut, merupakan sebuah podium dari batu bata dengan tinggi 4 m, lebar 5 m, dan panjang 6 m. Tebal dindingnya mencapai 1 m. Bangunan ini memiliki 4 pintu luar, 8 jendela luar, serta 8 pintu di bagian dalam.
Atap bangunan dibuat datar dengan pagar pembatas di bagian tepinya. Untuk mencapainya tersedia tangga dari kayu di bagian barat laut. Bangunan bertingkat ini disekat menjadi 4 buah ruang. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi berburu menjangan oleh keluarga kerajaan.
LAUT KIDUL (CEPURI)
Pantai selatan dengan mitosnya Nyi Roro Kidul memang sudah terkenal. Sedangkan Cepuri, yaitu tempat Upacara Labuhan Pantai Selatan yang terletak di Pantai Parangkusumo atau sebelah barat Parangtritis. Dan disinilah garis itu diakhiri.
VIVAnews - Wedhus gembel atau awan panas dari erupsi Gunung Merapi pada Selasa 26 Oktober 2010 petang menewaskan 35 orang termasuk Mas Penewu Ki Suraksohargo atau penjaga Gunung Merapi, Mbah Maridjan, dan rekan kami Redaktur Senior VIVAnews.com, Yuniawan Wahyu Nugroho.
Mbah Maridjan adalah sosok kontroversial. Namanya meroket sejak menolak perintah Sri Sultan Hamengkubuwono X, ketika Merapi meletus pada tahun 2006, untuk mengungsi dari tempat tinggalnya di Dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Tempat tinggalnya memang sangat rawan, merupakan daerah tertinggi yang paling dekat dengan puncak Merapi.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keengganan Mbak Maridjan mengungsi merupakan bentuk loyalitas terhadap perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjaga Merapi. Yang menjadi pertanyaan mengapa raja Yogyakarta sampai perlu memerintahkan orang untuk “menjaga’ gunung paling aktif dan destruktif di dunia tersebut?
Menurut Nelly Murni Roossadha, dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, dalam makalahnya berjudul Merapi: Gejala Alam, Sistem Tanda, dan Interaksi Sosial. Gunung tersebut menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa.
Diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai ‘swarga pangrantunan’, tempat di alam baka untuk menunggu giliran para roh yang meninggal dipanggil ke surga.
Gunung Merapi, kata dia, selain merupakan sebuah fenomena alam, yang dapat dijelaskan oleh para ilmuwan vulkanologi, dengan segala perangkat canggihnya, juga merupakan simbol kekuatan magis yang melingkupi Yogyakarta.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya.
Pengamatan citra satelit memang memperlihatkan lokasi-lokasi tersebut, berikut jalan yang menghubungkannya, hampir terletak segaris dan hanya meleset beberapa derajat.
Keberadaan garis imajiner tersebut dibenarkan oleh mantan Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Profesor Damarjati Supadjar. "Garis imajiner itu sudah menjadi wacana lama," kata Damarjati kepada VIVAnews.com, Jumat 20 Oktober 2010.
Gunung Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, yang juga sebagai batas utara Yogyakarta. Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan, terdapat Tugu Yogya.
Tugu menjadi simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan).
Garis selanjutnya mengarah ke Keraton dan kemudian lurus ke selatan terdapat Panggung Krapyak. Gedhong Panggung, demikian bangunan itu kini disebut, merupakan podium batu bata setinggi 4 meter, lebar 5 meter, dan panjang 6 meter. Tebal dindingnya mencapai 1 meter. Bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Titik terakhir dari garis imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo, di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro Kidul-nya. Seperti Merapi, pada titik ini juga ada juru kuncinya, yaitu RP Suraksotarwono.
Bagi Damarjati, daerah-daerah yang dilintasi garis lurus imajiner itu hanya 'kebetulan' saja terlintasi garis. Tetapi yang sesungguhnya memiliki arti adalah titik di masing-masing ujung imajiner, Merapi dan Laut Selatan.
Dua lokasi itu memiliki arti yang sangat penting bagi Keraton yang dibangun berdasarkan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan. Keraton merupakan titik imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air dilambangkan pada titik paling selatan, Pantai Parang Kusumo. Dan keraton berada di titik tengahnya. "Keraton dan dua daerah itu merupakan titik keseimbangan antara vertikal dan horizontal," jelas Damarjati.
Keseimbangan horizontal dilambangkan oleh Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan Gunung Merapi melambangkan sisi horizontal yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Filosofi garis lurus imajiner dari Merapi hingga Laut Selatan ini sarat kearifan lokal. Damarjati menyarankan pemimpin di negeri ini harus peka terhadap peristiwa letusan Merapi yang menewaskan sang juru kunci. Menurut dia, magma dalam gunung Merapi itu tidak boleh tersumbat untuk memuntahkan laharnya. Karena kalau tersumbat, dan terlambat, maka akan mengakibatkan letusan yang luar biasa. "Seperti kalau suara rakyat tersumbat, maka akan terjadi revolusi sosial.”
Buatmu : Inung, Sukma & Savana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar