ETNIS KANIBAL di PAPUA
Agun Awan, S.Pd. (Jl.Bandar NgalimGg.II/1-A, Bandar Kidul, Mojoroto, Kediri, Indonesia)
Hidup diatas rumah pohon selama berabad-abad di hutan papua, korowai lebih dikenal sebagai suku pemakan manusia. Jumlah sukunya terus berkurang akibat perang,penyakit,berkurang nya pohon-pohon besar dan program merumahkan yang dilakukan pemerintah.
Kanibalisme. Sebuah kata yg mampu membangunkan bulu kuduk bila mendengarnya. Namun sejarah mencatat manusia pemakan manusia diseluruh permukaan bumi ini, baik secara kelompok (suku) atau perorangan (individu). Keberadaannya tak hanya hidup primitif tp juga bertahan hingga di peradaban modern. Kata kanibal itulah yg sempat terdengar saat crew eksplore kalimantan (2006) melakukan eksplorasi ke boven digul, papua barat untuk mencari rumah pohon. Pemandu yg menemani langsung memberi peringatan bahwa lokasi rumah pohon sangat lah jauh dan berbahaya tidak saja medan yg akan dilalui tetapi juga kemungkinan-kemungkinan lain yg bakal terjadi.
Dalam hitungan pemandu di butuhkan minimal 2-3 hari untuk mencapai rumah pohon. Kemungkinan lain yang di maksud adalah untuk membuat team eksplorasi terkejut, yakni keberadaan suku-suku primitif dan terisolir dari dunia luar. salah satu suku yg masih terbilang primitif adalah suku korowai. Suku ini di tenggarai masih melakukan praktek kanibalisasi. Hal ini membuat hati kecut, suku korowai adalah salah satu pemilik rumah pohon yg tengah di cari. Ada beberapa alasan mengapa team eksplorasi mencari rumah pohon atau rumah tinggi dalam bahasa setempat. satu alasan yg bisa diajukan yakni saat para ahli dan kaum cendikia meributkan pemanasan global dan rumah-rumah yg berarsitektur selaras dengan alam, Indonesia ternyata jauh-jauh hari dan tanpa ribut-ribut telah mempraktekannya. Rumah pohon adalah bukti nyata dan mungkin hanya satu-satunya di dunia.
Bayangkan saja, suku yg di bilang sangat primitif dan tak mengenal dunia luar, kecuali pohon-pohon raksasa ternyata mampu membangun sebuah rumah yg letak nya nun jauh menjulang seakan hendak menjamah langit. Rumah-rumah sederhana itu hanya terbuat dr pelepah daun nipah, pohon penghasil sagu, untuk atap nya dan alas rumah dari kulit katu balsa yg diserut dengan pisau karang. Hal ini membuat rumah pohon tidak lah sederhana karena letaknya yg berada 40-50 m dari atas tanah. Rumah yg dapat menampung 5 keluarga ini proses pembangunannya membutuhkan waktu minimal 2 thn. Hal ini diluar nalar jika dianggap suku primitif, yakni ketat nya aturan dlm hal kesusilaan dibanding dengan masyarakat modern. Kondisi rumah berukuran 6 X 11 X 7 meter itu terbagi 2 ruangan yakni ruang laki-laki dan ruang wanita lengkap dengan beranda masing-masing. Kaum laki-laki tidak boleh masuk keruangan wanita, begitu juga sebaliknya. Jangankan masuk, untuk berbicara pun tidak dilakukan secara tatap muka melainkan melalui pembatas. Pengecualian bagi laki-laki yg masih menyusui boleh berada dalam ruangan wanita sampai berhenti menyusu.
Bilik wanita juga sekaligus menjadi tempat penyimpanan semua harta kekayaan dan binatang peliharaan, mulai dari kalung taring babi,gigi anjing, kalung kerang hingga anjing dan babi. Meski sama-sama dari papua, tidak semua suku bisa memanjatnya hingga sampai ke rumah pohon. Ada tehnik dan hanya suku rumah pohon yg mengusainya lerena jika sampai terjatuh kematian bakal merengut. Soal memanjat suku rumah pohon memang ahlinya, bayangkan bagaimana mereka membawa anjing dan babi dari dalam rumah hingga ke tanah atau sebaliknya, dengan melewati tangga dari sebatang pokok kayu yg dipangkas menyerupai tangga yg hanya diikat bagian atas. Wanita korowai juga gemar berdandan, mulai dari hidung yg di gantungi perhiasan dari rotan dan kalung dari kerang. Lengan berhias gelang akar rotan dan cawat kecil buat menutupi aurat sedangkan kaum laki-laki bertelanjang bulat. Bukan tanpa alasan suku korowai berbuat seperti itu. Lokasi rumah yg terbilang tinggi dan secara geografis juga berada didaratan tinggi membuat wilayah tempat mereka tinggal memiliki curah hujan yg tinggi, bila menggunakan pakaian akan menyebabkan selalu dlm keadaan basah dan kondisi tersebut akan menjadi berbagai sumber penyakit.
Merujuk pada data dinas sosial tahun 1983, jumlah suku korowai mencapai 2000 keluarga dan melalui program turun pohon alias dirumahkan layaknya masyarakat papua lainnya hanya berhasil 92 keluarga sedangkan sebagian besar memilih kembali ke atas pohon. Seiring pejalanan waktu, tak lagi jelas berapa jumlah anggota suku ini apakah bertambah atau menyusut akibat penyakit, peperangan dan akibat lainnya. Di Papua pemilik rumah pohon bukan hanya suku korowai tapi juga suku kombai. Rumah pohon milik suku korowai, setelah sekian lama terlupakan, kembali di temukan secara tidak sengaja saat sebuah perusahaan minyak dan gas yg bermarkas di prancis melakukan survei pengeboran di distrik citak mitak, kabupaten mappi. Penemuan tidak sengaja ini secara langsung mengungkap eksistensi suku rumah pohon lainnya yakni suku kombai. Korowai dan Kombai yg tersebar di beberapa wilayah papua, yakni di perbatasan antara yahukimo, jayawijaya dan kabupaten boven digoel.
Kedua suku ini tergolong peramu, berburu dan nomaden. Berbeda dengan korowai, kombai sangatlah misterius keberadaannya. Ini dikarenakan kombai kerap berpindah dari satu tempat ke tempat yg lain kerena terkait erat dengan lingkungan hutan dimana suku ini tinggal. Ironis nya sangat sedikit informasi dalam bahasa indonesia tentang suku kombai, sebalik nya banyak pihak asing yg berusaha melakukan interaksi dengan suku kombai dalam rangka penelitian. Digambar kan kaum pria suku yg berstatus dan tiada ini menggunakan semacam koteka yg terbuat dr paruh burung dan bukan dari buah labu yg dikeringkan. Senjata yg digunakan yakni panah beracun yg mata nya terbuat dr tulang. Kembali ke masalah perang, sering kali preang terjadi disebabkan masalah sepele. Seperti babi, anjing dan wanita, sekali saja perang meletus bisa dipastikan sulit untuk mengakhirinya, perang akan semakin panjang apabila salah satu pihak jatuh korban, maka pihak lain akan terus mengobarkan perang sampai jumlah korban yg jatuh dari kedua belah pihak sama jumlahnya.
Namun benarkah suku korowai pemakan manusia? Tentu saja masih membutuhkan pembuktian benar dan tidaknya praktek kanibalisme tersebut. Seperti suku dayak dikalimantan yg terkenal dengan adat Ngayau nya ( ngayau = kayau yg artinya memotong kepala musuh). kanibal kah…edi patebang dalam bukunya “dayak sakti” membantah anggapan keliru tersebut. Menurut nya mengayau tak sekedar perbuatan sadis, kejam dan kanibal. Lebih dari itu, ngayau menunjukan sikap heroik seorang dayak, sikap patriotisme dalam menghadapi orang yg cukup membahayakan. Hanya saja pandangan suku dayak “gemar” memakan manusia sudah terjanjur terbentuk terutama di negara-negara barat akibat publikasi para penulis, peneliti tentang dayak yg tidak memahami adat pengayauan secara utuh.
Kembali ke suku korowai, sebetulnya sulit dipahami korowai suku pamakan manusia karena korowai merupakan suku pemburu kus-kus, kasuari, burung-burung hutan, babi dan aneka fauna lainnya yg bisa di konsumsi setelah dimasak dengan cara mereka yg sudah diajarkan secara turun-temurun. Kalaupun memakan daging manusia, tentu ada faktor pemicu seperti ketiadaan sumber makanan. Saat tim eksplorasi berbincang-bincang dengan beberapa suku korowai yang telah berhasil turun dari pohon ke daratan. Mereka dengan keras membantah suku nya sebagai pemakan manusia. Apa yg dilakukan hanyalah sebatas ritual untuk mengingatkan kepada pihak lain bahwa yg dilakukan sudah kelewat batas. Suku korowai tidak main panah bila bertemu pendatang baru atau suku lainnya kemudian memakan dagingnya, ujar seorang suku korowai yg sekarang hidup di daratan.
Suku korowai dan rumah pohonnya telah hidup berabad-abad di tanah papua dengan segala kreativitas nya yg suatu saat nanti mungkin tinggal legenda. Kian menipis nya hutan papua akan mendesak suku korowai mulai belajar hidup dengan kaki manapak di atas tanah.
Kanibalisme. Sebuah kata yg mampu membangunkan bulu kuduk bila mendengarnya. Namun sejarah mencatat manusia pemakan manusia diseluruh permukaan bumi ini, baik secara kelompok (suku) atau perorangan (individu). Keberadaannya tak hanya hidup primitif tp juga bertahan hingga di peradaban modern. Kata kanibal itulah yg sempat terdengar saat crew eksplore kalimantan (2006) melakukan eksplorasi ke boven digul, papua barat untuk mencari rumah pohon. Pemandu yg menemani langsung memberi peringatan bahwa lokasi rumah pohon sangat lah jauh dan berbahaya tidak saja medan yg akan dilalui tetapi juga kemungkinan-kemungkinan lain yg bakal terjadi.
Dalam hitungan pemandu di butuhkan minimal 2-3 hari untuk mencapai rumah pohon. Kemungkinan lain yang di maksud adalah untuk membuat team eksplorasi terkejut, yakni keberadaan suku-suku primitif dan terisolir dari dunia luar. salah satu suku yg masih terbilang primitif adalah suku korowai. Suku ini di tenggarai masih melakukan praktek kanibalisasi. Hal ini membuat hati kecut, suku korowai adalah salah satu pemilik rumah pohon yg tengah di cari. Ada beberapa alasan mengapa team eksplorasi mencari rumah pohon atau rumah tinggi dalam bahasa setempat. satu alasan yg bisa diajukan yakni saat para ahli dan kaum cendikia meributkan pemanasan global dan rumah-rumah yg berarsitektur selaras dengan alam, Indonesia ternyata jauh-jauh hari dan tanpa ribut-ribut telah mempraktekannya. Rumah pohon adalah bukti nyata dan mungkin hanya satu-satunya di dunia.
Bayangkan saja, suku yg di bilang sangat primitif dan tak mengenal dunia luar, kecuali pohon-pohon raksasa ternyata mampu membangun sebuah rumah yg letak nya nun jauh menjulang seakan hendak menjamah langit. Rumah-rumah sederhana itu hanya terbuat dr pelepah daun nipah, pohon penghasil sagu, untuk atap nya dan alas rumah dari kulit katu balsa yg diserut dengan pisau karang. Hal ini membuat rumah pohon tidak lah sederhana karena letaknya yg berada 40-50 m dari atas tanah. Rumah yg dapat menampung 5 keluarga ini proses pembangunannya membutuhkan waktu minimal 2 thn. Hal ini diluar nalar jika dianggap suku primitif, yakni ketat nya aturan dlm hal kesusilaan dibanding dengan masyarakat modern. Kondisi rumah berukuran 6 X 11 X 7 meter itu terbagi 2 ruangan yakni ruang laki-laki dan ruang wanita lengkap dengan beranda masing-masing. Kaum laki-laki tidak boleh masuk keruangan wanita, begitu juga sebaliknya. Jangankan masuk, untuk berbicara pun tidak dilakukan secara tatap muka melainkan melalui pembatas. Pengecualian bagi laki-laki yg masih menyusui boleh berada dalam ruangan wanita sampai berhenti menyusu.
Bilik wanita juga sekaligus menjadi tempat penyimpanan semua harta kekayaan dan binatang peliharaan, mulai dari kalung taring babi,gigi anjing, kalung kerang hingga anjing dan babi. Meski sama-sama dari papua, tidak semua suku bisa memanjatnya hingga sampai ke rumah pohon. Ada tehnik dan hanya suku rumah pohon yg mengusainya lerena jika sampai terjatuh kematian bakal merengut. Soal memanjat suku rumah pohon memang ahlinya, bayangkan bagaimana mereka membawa anjing dan babi dari dalam rumah hingga ke tanah atau sebaliknya, dengan melewati tangga dari sebatang pokok kayu yg dipangkas menyerupai tangga yg hanya diikat bagian atas. Wanita korowai juga gemar berdandan, mulai dari hidung yg di gantungi perhiasan dari rotan dan kalung dari kerang. Lengan berhias gelang akar rotan dan cawat kecil buat menutupi aurat sedangkan kaum laki-laki bertelanjang bulat. Bukan tanpa alasan suku korowai berbuat seperti itu. Lokasi rumah yg terbilang tinggi dan secara geografis juga berada didaratan tinggi membuat wilayah tempat mereka tinggal memiliki curah hujan yg tinggi, bila menggunakan pakaian akan menyebabkan selalu dlm keadaan basah dan kondisi tersebut akan menjadi berbagai sumber penyakit.
Merujuk pada data dinas sosial tahun 1983, jumlah suku korowai mencapai 2000 keluarga dan melalui program turun pohon alias dirumahkan layaknya masyarakat papua lainnya hanya berhasil 92 keluarga sedangkan sebagian besar memilih kembali ke atas pohon. Seiring pejalanan waktu, tak lagi jelas berapa jumlah anggota suku ini apakah bertambah atau menyusut akibat penyakit, peperangan dan akibat lainnya. Di Papua pemilik rumah pohon bukan hanya suku korowai tapi juga suku kombai. Rumah pohon milik suku korowai, setelah sekian lama terlupakan, kembali di temukan secara tidak sengaja saat sebuah perusahaan minyak dan gas yg bermarkas di prancis melakukan survei pengeboran di distrik citak mitak, kabupaten mappi. Penemuan tidak sengaja ini secara langsung mengungkap eksistensi suku rumah pohon lainnya yakni suku kombai. Korowai dan Kombai yg tersebar di beberapa wilayah papua, yakni di perbatasan antara yahukimo, jayawijaya dan kabupaten boven digoel.
Kedua suku ini tergolong peramu, berburu dan nomaden. Berbeda dengan korowai, kombai sangatlah misterius keberadaannya. Ini dikarenakan kombai kerap berpindah dari satu tempat ke tempat yg lain kerena terkait erat dengan lingkungan hutan dimana suku ini tinggal. Ironis nya sangat sedikit informasi dalam bahasa indonesia tentang suku kombai, sebalik nya banyak pihak asing yg berusaha melakukan interaksi dengan suku kombai dalam rangka penelitian. Digambar kan kaum pria suku yg berstatus dan tiada ini menggunakan semacam koteka yg terbuat dr paruh burung dan bukan dari buah labu yg dikeringkan. Senjata yg digunakan yakni panah beracun yg mata nya terbuat dr tulang. Kembali ke masalah perang, sering kali preang terjadi disebabkan masalah sepele. Seperti babi, anjing dan wanita, sekali saja perang meletus bisa dipastikan sulit untuk mengakhirinya, perang akan semakin panjang apabila salah satu pihak jatuh korban, maka pihak lain akan terus mengobarkan perang sampai jumlah korban yg jatuh dari kedua belah pihak sama jumlahnya.
Namun benarkah suku korowai pemakan manusia? Tentu saja masih membutuhkan pembuktian benar dan tidaknya praktek kanibalisme tersebut. Seperti suku dayak dikalimantan yg terkenal dengan adat Ngayau nya ( ngayau = kayau yg artinya memotong kepala musuh). kanibal kah…edi patebang dalam bukunya “dayak sakti” membantah anggapan keliru tersebut. Menurut nya mengayau tak sekedar perbuatan sadis, kejam dan kanibal. Lebih dari itu, ngayau menunjukan sikap heroik seorang dayak, sikap patriotisme dalam menghadapi orang yg cukup membahayakan. Hanya saja pandangan suku dayak “gemar” memakan manusia sudah terjanjur terbentuk terutama di negara-negara barat akibat publikasi para penulis, peneliti tentang dayak yg tidak memahami adat pengayauan secara utuh.
Kembali ke suku korowai, sebetulnya sulit dipahami korowai suku pamakan manusia karena korowai merupakan suku pemburu kus-kus, kasuari, burung-burung hutan, babi dan aneka fauna lainnya yg bisa di konsumsi setelah dimasak dengan cara mereka yg sudah diajarkan secara turun-temurun. Kalaupun memakan daging manusia, tentu ada faktor pemicu seperti ketiadaan sumber makanan. Saat tim eksplorasi berbincang-bincang dengan beberapa suku korowai yang telah berhasil turun dari pohon ke daratan. Mereka dengan keras membantah suku nya sebagai pemakan manusia. Apa yg dilakukan hanyalah sebatas ritual untuk mengingatkan kepada pihak lain bahwa yg dilakukan sudah kelewat batas. Suku korowai tidak main panah bila bertemu pendatang baru atau suku lainnya kemudian memakan dagingnya, ujar seorang suku korowai yg sekarang hidup di daratan.
Suku korowai dan rumah pohonnya telah hidup berabad-abad di tanah papua dengan segala kreativitas nya yg suatu saat nanti mungkin tinggal legenda. Kian menipis nya hutan papua akan mendesak suku korowai mulai belajar hidup dengan kaki manapak di atas tanah.
Buat: Inung, Sukma & Savana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar