26 Oktober 2010








STATUS MERAPI AKHIR OKTOBER 2010
Agun Awan, S.Pd. (Jl. Bandar Ngalim II/1-A, Bandar kidul, Mojoroto, Kediri, Indonesia)

Hujan abu vulkanik tipis terjadi di kawasan barat Gunung Merapi, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (26/10). "Kemarin siang saya juga lihat hujan abu, waktu mencari rumput di Hutan Deles," kata Suwi (40 tahun), warga Dusun Braman, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun.
 
Menurut Suwi, dirinya merasa biasa saja menghadapi hujan abu ketika terjadi peningkatan aktivitas vulkanik Merapi yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu. Ia mengaku mengetahui secara baik ciri-ciri abu yang berasal dari gunung berapi setinggi sekitar 2.965 meter dari permukaan air laut itu.
Biasanya, hujan abu cukup tebal terjadi jika Merapi menyemburkan awan panas. Ia mengaku, sejak beberapa hari terakhir mendengar suara guguran material yang diduga turun dari puncak gunung itu. Tetapi, hingga saat ini dirinya belum melihat semburan awan panas dari gunung tersebut. Gunung Merapi sejak Senin (25/10/2010) dinyatakan berstatus awas. Peningkatan status ini berdasarkan kenaikan kegempaan vulkanik, deformasi signifikan kubah, serta peningkatan jumlah guguran kubah lava. Curah hujan yang tinggi berpotensi menimbulkan lahar panas di lereng Merapi.
 
Perubahan status Siaga menjadi Awas gunung berapi di Yogyakarta yang tingginya 2.950 meter itu, jelas Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, berdasarkan adanya peningkatan signifikan jumlah dan intensitas gempa vulkanik sejak Jumat (22/10) hingga Minggu (24/10). Dalam tiga hari, gempa bumi vulkanik meningkat dari 52 menjadi 80 kali gempa.
 
Selain itu, juga terjadi peningkatan pertumbuhan kubah—disebut ”laju inflasi”— hampir empat kali lipat sejak Kamis (21/10) sampai Minggu (24/10). ”Laju inflasi, dari 10,5 cm menjadi 42 cm per hari pada 24 Oktober 2010,” ujar Surono. Laju inflasi diukur dengan memasang reflektor di dekat puncak Merapi.
 
Jumlah guguran lava sebelum 21 Oktober 2010 kurang dari 100 kejadian menjadi 194 kejadian pada 24 Oktober 2010. Meningkatnya jumlah guguran lava ini mengancam daerah di selatan hingga tenggara Gunung Merapi, yaitu Kabupaten Sleman dan Klaten, serta berpotensi menimbulkan awan panas. 







FOTO MERAPI versi NASA

Gunung paling aktif di dunia, Merapi, saat ini sedang menggeliat. Masyarakat cemas menunggu, apakah ia akan meletus dan mengirimkan malapetaka berikutnya. Apalagi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG) telah meningkatkan status Merapi menjadi Awas, terhitung sejak Senin 25 Oktober 2010.

Sejarah mencatat, sejak tahun 1548, Merapi sudah meletus sebanyak 68 kali–dengan letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Letusan dahsyat pernah terjadi antara lain tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Di tahun 1930, letusan Merapi menghancurkan 13 desa dan menewaskan 1.370 orang.
Letusan terakhir Merapi terjadi tahun 2006 lalu. Pada 4 Juni 2006, dilaporkan bahwa aktivitas Gunung Merapi telah melampaui status ‘awas’.

Foto letusan Merapi 6 Juni 2006


Kemudian pada 8 Juni 2006, Gunung Merapi pada pukul 09:03 WIB meletus dengan menyemburkan awan panas yang membuat ribuan warga di wilayah lereng panik dan melarikan diri ke tempat aman.
Fenomena letusan Merapi tak luput dari pantauan NASA. Badan Antariksa AS ini merekam kondisi Merapi melalui foto satelit. Foto pertama direkam alat Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) di satelit Terra milik NASA pada 26 April 2006.

Foto Merapi tanggal 26 April 2006

Foto itu menunjukkan awan panas muncul dari puncak Merapi, yang dikelilingi lava hitam dan puing-puing hasil erupsi sebelumnya. Lereng gunung tampak berwarna merah. Foto kedua pada 6 Juni 2010 juga merupakan hasil bidikan ASTER. Warna merah dalam foto mengindikasikan vegetasi dan yang lebih cerah adalah tumbuhan. Awan digambarkan dengan warna terang atau putih buram. Sementara, awan vulkanis tampak berwarna kelabu suram yang bertiup ke arah barat daya.

Sebelum Merapi Meletus Mbah Maridjan Diam.





Mbah Maridjan 

Dua hari sebelum Gunung Merapi meletus, ternyata Balai Penyelidikan dan Pengembangan Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, telah mensosialisasi kepada Mbah Maridjan dan warga sekitar Desa Kinahrejo untuk segera meninggalkan rumahnya terkait rawannya kondisi Merapi saat itu. Hanya saja, Mbah Maridjan tak memberikan komentar.

“Sosialisasi dilakukan di rumah Mbah Maridjan pada hari Sabtu, dua hari sebelum letusan. Hanya saja publik dan media tak mengetahui ini,” kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, Subandriyo kepada Tempo di Gedung BPPTK, Kamis, (28/10). Pemberitahuan itu sebagai upaya maksimal dari BPPTK untuk menghindari jatuhnya korban akibat luncuran wedhus gembel Gunung Merapi.

Sosialisasi sengaja dilakukan di rumah Mbah Maridjan lantaran Mbah Maridjan dinilai sebagai tokoh panutan. Hanya saja, saat mereka menyampaikan sosialisasi tersebut, Mbah Maridjan hanya diam saja.

Subandriyo mengatakan Kinahrejo menjadi obyek sosialisasi mereka lantaran sudah memperkirakan kawasan ini akan terkena luncuran wedhus gembel. “Karena energi eksplosifnya mencapai tiga kali lipat,” kata Subandriyo. Dia tak menampik bahwa Kinahrejo baru pertama kalinya “disentuh” wedhus gembel.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono mengakui luncuran awan panas pada letusan Merapi tahun ini paling besar sejak satu abad terakhir. “Kalau sebelumnya luncuran awan panasnya hanya maksimal mencapai 6 kilometer, sekarang mencapai 8 kilometer,” ujarnya.
Desa Kinahrejo yang menjadi kediaman Mbah Maridjan, menurut catatan Surono, juga tidak pernah terkena luncuran awan panas. “Merapi memang punya bahasa tubuh sendiri, tidak bisa diprediksi,” katanya.


Buatmu : Ining, Sukma & Savana.

Tidak ada komentar: